Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta

By | April 10, 2019

Dengan sepeda tua yang ringkih, ditempuhnya jalan yang makin hari makin mulus dan ramai di seantero kota. Sebuah jalan yang dilihatnya dengan mata sepi. Dari mata-mata sepi itulah ia memandang jalan menulis yang dipilihnya merupakan jalan sunyi.

Ada yang kemudian terbunuh di tengah jalan dan ada pula yang menjauh. Tapi bagi mereka yang sadar memilih jalan kepenulisan, kesunyian bisa jadi semacam jembatan lintasan panjang untuk mereguk limpahan gagasan dan menemukan eksitensi diri.

Buku ini merekam jejak paling awal seseorang yang memutuskan menjadi penulis dan melakukan interaksi yang intim dengan literasi yang disodorkan sebuah kota. Ia memberitahukan kepada kita sekaligus mewakili potret sebagian besar nasib penulis-penulis muda Indonesia dalam mengarungi samudera gagasan dan menyiasati, tantangan hidup yang ganas.

Oleh karena itu, si Aku dalam buku ini menyerukan semacam manifes penuh dendam dari dari kekalahan nasib. “Ingat-ingatlah kalian hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan yang sunyi ini, maka yang paling kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”