Membuka Pintu Ijtihad (Islamic Methodology in History)

By | September 21, 2019

Temuan historis Rahman mengenai evolusi perkembangan empat prinsip dasar (Al-Quran, Sunnah, Ijtihad dan Ijma), dalam bukunya Islamic Methodology in History (1965), yang dilatari oleh pergumulannya dalam upaya-upaya pembaruan (hukum) Islam di Pakistan, pada gilirannya telah mengantarkannya pada agenda yang lebih penting lagi: perumusan kembali penafsiran Al-Quran yang merupakan jantung ijtihadnya.

Dalam kajian historisnya ini, Rahman menemukan adanya hubungan organis antara sunnah ideal Nabi SAW dan aktivitas ijtihad-ijma. Bagi Rahman, sunnah kaum muslim awal merupakan hasil ijtihad personal, melalui instrumen qiyas, terhadap sunnah ideal nabi SAW yang kemudian menjelma menjadi ijma atau sunnah yang hidup.

Di sini, secara tegas Rahman menarik garis yang membedakan antara sunnah ideal nabi SAW di satu sisi, dengan sunnah hidup kaum muslim awal atau ijma sahabat di sisi lain. Dengan demikian, ijma pada asalnya tidaklah statis, melainkan berkembang secara demokratis, kreatif dan berorientasi ke depan.[8] Namun demikian, karena keberhasilan gerakan penulisan hadis secara besar-besaran yang dikampanyekan Al-syafiI untuk menggantikan proses sunah-ijtihad-ijma tersebut, proses ijtihad-ijma terjungkirbalikkan menjadi ijma-ijtihad. Akibatnya, ijma yang tadinya berorientasi ke depan menjadi statis dan mundur ke belakang: mengunci rapat kesepakan-kesepakatan muslim masa lampau. Puncak dari proses reifikasi ini adalah tertutupnya pintu ijtihad, sekitar abad ke empat Hijrah atau sepuluh masehi.

Berpijak pada temuan historis ini, Rahman secara blak-blakan menolak doktrin tertutupnya pintu ijtihad, ataupun pemilahannya ke dalam ijtihad muthlaq, ijtihad fil masail, dan ijtihad fil madzhab.