Sarwo Edhie dan Tragedi 1965

By | September 10, 2020

DIA MUNCUL DI ATAS PANGGUNG SEJARAH pada waktu yang tepat. Sesuai perintah Pangkostrad Mayjen Soeharto, Komandan RPKAD Kolonel Sarwo Edhie Wibowo segera membebaskan RRI yang dikuasai G-30-S, mengamankan PAU Halim Perdanakusuma yang menjadi markas G-30-S, mencari jenazah para jenderal yang dibunuh, serta memberantas para pendukung G-30-S di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.

NAMUN, POPULARITAS SARWO EDHIE yang meroket mengusik Soeharto. Ia disingkirkan dari pusaran kekuasaan dengan ditugaskan menjadi Pangdam Bukit Barisan dan Pangdam Cendrawasih. Kendati kembali menunjukkan prestasi dalam pelaksanaan Pepera, ia hanya diganjar dengan posisi sebagai Gubernur Akabri. Setelah itu, ia “disipilkan” dengan dijadikan duta besar RI di Korea Selatan pasca-peristiwa Malari, Irjen Deplu, Kepala BP7, dan, terakhir, menjadi anggota DPR/MPR selama beberapa minggu, yang berujung pada pengunduran dirinya yang kontroversial.

PERGOLAKAN POLITIK 1965-1966 menempatkan Sarwo Edhie sebagai pusat perhatian. Keberhasilannya menghancurkan PKI, membuatnya dikagumi sebagai penyelamat bangsa dari cengkeraman komunisme. Namun, belakangan ini, namanya kembali disorot dalam konteks berbeda. Peranannya sebagai komandan pasukan komando pembasmi PKI dan para simpatisannya diletakkan dalam peta kejahatan kemanusiaan di Indonesia. Namanya dikaitkan dengan pelanggaran HAM berat.

Perjalanan hidup Sarwo Edhie Wibowo adalah sebuah kontradiksi.