SIHIR RENDRA : PERMAINAN MAKNA

By | January 22, 2020
“…perkembangan puisi kita akhir-akhir ini berada dalam ketegangan antara keberaksaraan dan kelisanan; para penyair yang sepenuhnya tumbuh dalam tradisi cetak mempunyai dorongan yang kuat, dari dalam dirinya sendiri maupun dari lingkungannya, untuk melisankan apa yang sudah susah-susah ditulisnya — atau, seperti halnya penulis naskah lakon, menyiapkan teks tertulis untuk suatu pertunjukan pembacaan puisi”.

Sapardi memulai telaahnya dari hasil sastra selepas Proklamasi Kemerdekaan sampai 1949. Dalam bab “Puisi di Masa Revolusi” itu, ia hendak menjawab pertanyaan, puisi macam apa yang dihasilkan penyair kita dalam masa empat tahun pertama yang melahirkan “Indonesia”. Kesimpulannya, sastra (atau puisi) kita pada dasarnya adalah sastra yang terbit di koran dan majalah, tidak dalam bentuk buku.
Lalu, Sapardi menukik ke sejumlah puisi dan penyair penting Indonesia, seperti Chairil Anwar, Rendra, Abdul Hadi W.M., Linus Suryadi Ag, dan Emha Ainun Nadjib. Ia juga tak lupa melongok beberapa puisi penting yang terbit tahun-tahun terakhir. Misalnya kumpulan puisi Fragmen Malam-nya Wing Karjo, Asmaradana Goenawan Mohamad, serta Dan Kematian Makin Akrab Subagio Sastrowardoyo.Sapardi melihat masih adanya ketegangan antara keberaksaraan dan kelisanan dalam puisi Indonesia mutakhir. Para penyair, yang sepenuhnya tumbuh dalam tradisi cetak, justru memiliki dorongan kuat untuk melisankan apa yang sudah disuratkan. Mereka, layaknya penulis naskah lakon, sering menyiapkan teks tertulis untuk suatu pertunjukan pembacaan puisi. Bagi Sapardi, kecenderungan itu mengisyaratkan belum masuknya secara penuh puisi kita ke dalam keberaksaraan.