Agama dan Negara dalam Pandangan Imam Ali

By | April 15, 2020

Dalam teori politik Islam, analisis hubungan agama dan masyarakat beranjak dari peristiwa akhir kenabian Muhammad SAW. sebagai penutup para Nabi. Peristiwa puncak yang menandai itu Ghadir Khum dan Saqifah. Inti perdebatannya, apakah Nabi meninggalkan wasiat kepemimpinan Ilahi (imamah) atau hak kepemimpinan itu diletakan oleh masyarakat (Syura/Khilafah)?
Buku ini berupaya menjelaskan bahwa nalar politik Islam dalam konsepsi imamah Ahlulbait, yang berada dalam garis kepemimpinan Imam Ali, mempu ditempatkan dalam garis nonstruktural politik kekuasaan (negara). Kepemimpinan Imam Ali berada dalam ciri ikatan sosial budaya kemasyarakatan (kepemimpinan intelektual, spiritual, dan sosial). Penulis buku ini menyimpulkan bahwa tujuan dan misi kenabian bukanlah membangun otoritas politik melalui negara. Oleh karena itu, kekuatan utama pandangan politik Imam Ali adalah masyarakat (ummah). Progresifitas historis dalam aktifisme seharusnya bertumpu pada kekuatan politik yang digerakan secara alami dalam hubungan kemasyarakatan.

Menarik, Imam Khumaini, juga dalam nalar politik Islamnya menyatakan bahwa pemerintahan Islam adalah peletakan akal (Itibari aql), bukan diletakan oleh syari. Jadi, pemerintahan Islam Imam Khumaini adalah ijtihad politik. Pada saat yang sama, kepemimpinan politik yang diletakannya berada dalam corak kepemimpinan spiritual dan intelektual (wali faqih), bukan negara. Artinya, dengan mengikuti pandangan penulis buku ini, masyarakatlah yang menjadi letak utama kekuatan politik Islam, bukan negara. Betapa rapuhnya negara/otoritas politik yang tidak bertumpu pada ikatan intelektual, spiritual dan sosial yang berbasis masyarakat (ummah dan imamah).