AKAR KEKERASAN : Analisis Sosio-Psikologis Atas Watak Manusia

By | July 25, 2019

Sebuah upaya memahami agresivitas manusia.Menerapkan psikoanalisisuntuk mengobati penyakit budaya sosial. Sosok tokoh Nazi Jerman, Adolf Hitler, tidaklah pernah benar-benar mati. Ia hidup sebagai simbol kekerasan terbesar dalam sejarah kemanusiaan. Adalah kepribadian Adolf Hitler itu yang coba dibedah oleh psikoanalis dan filsuf sosial, Erich Fromm (1900-1980), lewat buku yang aslinya ditulis pada 1973 ini. Fromm berusaha menjelaskan hubungan antara karakter dan naluri dalam diri manusia.
“Tujuan utama buku ini menganalisis sifat dan kondisi agresi destruktif…,” tulis Fromm (halaman xxi). Karena itu, untuk mengetahui secara jelas agresi defensif-lunak dan destruktif-jahat, perlu dicari perbedaan fundamental. Yaitu, antara karakter dan naluri. Perbedaan itu bisa juga dilihat pada dorongan yang berakar dari kebutuhan fisiologis manusia, dan hasrat yang berhulu dari karakternya.

Fromm mencontohkan struktur karakter itu dengan menganalisis karakter beberapa pelaku sadisme dan destruktif ternama. Misalnya Joseph Stalin, Himmler, dan Hitler tadi. Namun, barangkali contoh yang paling menonjol adalah watak diktaktor Nazi itu. Fromm membeberkan agresi jahat karakter Adolf Hitler sebagai kasus klinis nekrofilia (halaman 545-646).

Dengan metode psikoanalisis Sigmund Freud, Fromm berusaha membedah kandungan kekerasan dalam diri manusia. Menurut dia, semua hasrat manusia dapat dipahami sebagai has il naluri. Misalnya cinta, benci, tamak, sombong, ambisius, kedekut, dan cemburu. Seluruhnya dipaksa masuk ke dalam satu skema, dan secara teoretis dibahas sebagai sublimasi dari bermacam perwujudan libido narsistik oral, anal, dan genital.

Fromm sendiri berpendapat, semua hasrat manusia, “baik” atau “jahat”, cuma bisa dipahami sebagai upaya seseorang untuk menghayati dan mempertahankan hidup. “Manusia yang paling kejam sekalipun tetaplah manusia…. Dia bisa disebut orang yang kurang waras… juga sebagai orang tersesat dalam upayanya mencari jalan keselamatan,” kata Fromm (halaman xxviii).

Namun, tidak seperti Freud, yang menyelidiki pasien secara individual, Fromm menerapkan psikoanalisis untuk mengobati penyakit budaya sosial, dan mengembangkan suatu masyarakat yang sehat (sane society). Gagasan Fromm muncul dari upaya eklektisisme antara Freud dan Marx, ketika ia masih tercatat sebagai anggota mazhab Frankfurt (Die Frankfurter Schule) di Universitas Frankfurt.

Konsep ini kemudian dikenal sebagai “marxisme-freudian”. Awalnya, ide ini mendapat banyak kecaman. Ada yang menuding, mazhab Frankfurt merongrong ortodoksi marxisme. Bahkan mereka dituding melakukan pekerjaan dungu dan tolol. Yaitu dengan memberi pemahaman baru terhadap ajaran Marx melalui psikoanalisis Freud. Jadi, pandangan Freud tentang individu “disintesiskan” dengan gagasan masyarakat Marx yang sudah berkurun waktu 100 tahun lebih.

Walaupun demikian, buku ini adalah satu dari sekian karya monumentalnya. Fromm tak hanya bicara tentang psikologi. Pikirannya menjangkau bidang ilmu sejarah, sosiologi, sastra, dan filsafat. Kalam ini barangkali cukup relevan bagi para pakar dan politikus dalam mengamati kekerasan, kerusuhan, dan kekacauan yang terjadi di sekeliling kita. Setidaknya, supaya mereka menyadari bahwa masyarakat Indonesia bukanlah orang-orang tersesat dalam upaya mencari keselamatan.