BAHTERA KANDAS DI BUKIT : Kajian Semiotika Sajak-sajak Nuh

By | July 3, 2019
Buku Bahtera Kandas di Bukit membahas sepuluh sajak Indonesia modern yang menghadirkan Nuh, yaitu sajak
Hanya Satu (1937) Amir Hamzah, Kapal Nuh (1957) dan Nuh
(1972) Subagio Sastrowardojo, Nuh (1978) Sutardji Calzoum Bachri, Perahu Kertas (1982) dan Pokok Kayu (2000) Sapardi Djoko Damono, Balada Nabi Nuh (1994) TaufiqIsmail, Numpang Perahu Nuh (1996) Dorothea Rosa Herliany, Nuh (1998) Goenawan Mohamad, dan Bahtera Nuh (1999) A.D. Donggo, dengan menggunakan pendekatan semiotika dan intertekstualitas.

Membaca puisi adalah sebuah kenikmatan seni tersendiri. Membaca jenis karya sastra yang memiliki struktur paling padat ini seperti “menjelajah dunia” imaji dengan permainan bunyi dan kata. Semakin dapat membangkitkan rasa estetika, semakin ia dapat mengajak kita menjelajah. Puisi Indonesia modern mengalami perkembangan baik dalam struktur maupun temanya. Puisi menjadi sebuah media penuangan gagasan kreatif tentang banyak aspek kehidupan; kemanusiaan, lingkungan hidup, ketuhanan dan lain-lain, dalam kemasan yang padat dan kompleks. Karena banyak menggunakan tanda bahasa dan simbol-simbol, belum tentu semua orang dapat memahami dan memaknai puisi.
Memahami dan memaknai puisi adalah sebuah proses batin. Bila puisi dinikmati, ia dapat memperkaya batin, menghaluskan budi, dan meneguhkan keimanan. Memaknai kehadiran Nuh dalam puisi berarti merenungkan kisah kenabiannnya; umatnya yang diazab Tuhan dengan banjir besar. Jika kita tarik ke masa kini saat kondisi keimanan manusia semakin menurun, patutlah jika kita merenugi bahwa kerusakan dunia saat ini juga merupakan azab Tuhan yang disebabkan perbuatan manusia sendiri. Oleh karena itu, manusia harus segera kembali menemukan jalan kebenaran.