Beyond The Chains Of Illusion: Pertemuan Saya Dengan Marx Dan Freud

By | October 4, 2019

William Faulkner pernah bekerja di pembangkit listrik University of Mississipi, AS. Ia harus menyerok batu bara ke dalam tungku sepanjang malam ketika para mahasiswa sedang lelap. Di saat beristirahat antara pukul sebelas malam hingga empat pagi, ia menulis tangan naskah novel di atas gerobak beroda satu yang dibalik. Maka, lahirlah As I Lay Dying yang, menurutnya, ditulis “dalam waktu enam minggu, tanpa mengubah satu kata pun”.

As I Lay Dying berkisah tentang meninggalnya Addie Bundren, seorang wanita yang berwasiat untuk dikuburkan di tanah leluhurnya, 40 mil jauhnya dari tempat dia tinggal. Suami dan kelima anak yang ditinggalkannya pun memulai perjalanan yang panjang dan menguras segalanya. Seiring dengan berjalannya cerita, motif, dan latar belakang masing-masing tokoh mulai terungkap ke permukaan dengan cara yang tak terduga.

As I Lay Dying tidak memakai standar konvensional sebuah novel. Cerita dituturkan oleh lima belas narator–lima belas “aku” dengan kerangka berpikir yang berbeda satu dengan yang lain–dengan menggunakan teknik monolog interior, mengesankan bahwa novel ini tidak memiliki protagonis maupun antagonis; semua tokoh adalah tokoh utama bagi masing-masing sudut pandang. Monolog interior juga menyebabkan cerita tidak berjalan linear, meski secara garis besar alur As I Lay Dying lurus. Apa yang terjaid di permukaan nyaris tidak pernah serasi dengan apa yang terjadi di dalam kepala tokoh-tokohnya, memberi kesan seolah cerita melantur ke sana kemari, melompat ke depan dan ke belakang, sesekali bahkan mengabaikan tanda baca dan struktur kalimat yang padu, meski hal tersebut justru menambah kedalaman penggambaran watak para tokoh.