Pada Sebuah Kapal Buku

By | March 25, 2020

Relasi buku dan negara adalah topik yang kerap muncul dalam buku ini. Terutama, ketegangan antara bagaimana negara telah memosisikan buku, dan bagaimana buku semestinya diposisikan demi kepentingan masyarakat.

Persoalan pertama yang membuka buku ini adalah “Hari Buku Nasional”. Menziarahi lintasan kronik, Gusmuh mendapati bahwa penetapan Hari Buku Nasional sebenarnya problematis. Jatuhnya 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional bersandar, kalau bukan pada Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), pada Perpustakaan Nasional Indonesia (PNRI). Padahal, jauh hari, Njoto pernah mengusulkan agar Hari Buku Nasional tidak disandarkan pada hari jadi suatu organisasi buku, baik itu penerbitan. perpustakaan, atau toko buku. Sebab, sebagaimana disimpulkan oleh Gusmuh: Karena nyaris menjadi luka dalam kegiatan kemasyarakatan kita bagaimana organisasi yang hari jadinya ditransformasikan sebagai hari bersama nasional kerap mengidap penyakit: “menyingkirkan yang tak sepaham”.

Negara mungkin sibuk berkoar-koar mempropagandakan minat baca di masyarakat. Tapi, pernyataan pernerintah bahwa minat baca masyarakat “rendah”, tak ubahnya upaya menyalahkan rakyat. Sebab, hanya masyarakat kelas menengah ke bawah yang cenderung disisir ketika angka minat baca disebutkan.

Bukan minat baca, tapi akses terhadap bacaanlah yang mestinya dibicarakan pemerintah. Sebab, ngapain mengharapkan terbentuknya budaya membaca ketika masyarakat belum bebas memilih jenis bacaan yang ingin dibacanya?