POLITIK KAIN TIMUR: Instrumen Meraih Kekuasaan

By | October 22, 2020
“Dalam buku ini, dijelaskan bahwa praktik-praktik merebut posisi kekuasaan dalam budaya Kain Timur pada berbagai kelompok etnik di wilayah Kepala Burung, Provinsi Papua Barat merupakan manifestasi nyata teori “pemberian” atau “the gift” yang dikembangkan oleh ilmuwan Prancis, Marcell Mauss, dan yang sampai sekarang masih relevan dijadikan alat analisis untuk memahami dinamika politik kontemporer. Buku ini mengandung dua hal penting: Pertama, adalah peranan penggunaan n?lai-nilai budaya kain timur yang menuntut pihak penerima untuk harus mengembalikan lebih banyak kepada pihak pemberi sebagai dasar legitimasi kekuasaan. Kedua, tentang kemampuan seseorang untuk memanfaatkan modal sosial tersebut untuk kepentingan mencapai tujuan-tujuan politiknya pada masa sekarang, seperti yang diperankan oleh tokoh utama yang dijadikan obyek dalam kajian yang mendasari penulisan buku ini.”
– Dr. Johsz R. Mansoben, MA, Universitas Cenderawasih dan
Lembaga Riset Papua, Jayapura, Papua
“Birokrat yang dinilai politis oleh rakyat”, hal inilah yang saya rasakan. Rakyat tidak butuh retorika dan janji, melainkan bukti. Kerja- kerja birokrasi melalui pelayanan yang baik, telah menghadirkan kepuasan bagi masyarakat dan pada akhirnya bisa menghasilkan legitimasi bagi birokrasi itu sendiri.
Sebagai pamong praja dan juga sekaligus “anak adat”, saya berusaha memahami budaya lokal untuk menemukenali permasalahan dan menentukan pendekatan yang bisa digunakan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan kemasyarakatan. Kearifan lokal (local wisdom) yang baik tentunya, saya pandang sebagai modal sosial (social capital) yang harus dikelola demi kesejahteraan mereka. Konsep “pemberian” (the gift) dalam buku ini bisa jadi berlaku di tengah masyarakat adat kita, namun demikian “pemberian” tersebut pada hakikatnya adalah pelayanan kita kepada masyarakat. Sumber daya yang kami miliki diarahkan bagi sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Adalah sebuah efek domino jika hal ini bisa diposisikan sebagai bentuk mobilisasi dukungan.”
– Drs. Otto Ihalauw, M.A.