Suara Perempuan Korban Tragedi ’65

By | November 9, 2020

Pembantaian dan pemenjaraan massal yang terjadi pasca peristiwa G 30 S 1965 merupakan sejarah kelam bangsa Indonesia. Saat itu, banjir darah terjadi antara pekan ketiga bulan Oktober hingga Desember 1965.. Setengah juta rakyat dibunuh tanpa melalui proses pengadilan. Tidak hanya itu! Ratusan ribu orang dipenjara tanpa proses hukum. Teror dilakukan melalui mitos “Gestok”, “PKI” dan “Gerwani”. Korban dan anggota korban harus hidup dalam ketakutan dan kebisuan.

Buku ini merupakan jalan di mana ketakutan dan kebisuan tersebut mesti dikubur. Ita F. Nadia dengan metode oral history dalam buku ini berhasil memberikan ruang kepada ibu-ibu yang disiksa dan diperkosa dengan sadis oleh oknum militer-dituduh terlibat dalam G 30 S karena aktivis Gerwani, BTI dan istri aktivis PKI-untuk bertutur tentang apa yang mereka alami.

Kisah tutur ibu-ibu korban tragedi 1965 dalam buku ini bukan sekadar untuk dimaknai dalam konteks pengalaman korban. Lebih dari itu, untuk memulihkan martabat kemanusiaan mereka dan mengakhiri kekerasan dan diskriminasi di negeri ini. Seperti yang dituturkan oleh Ibu Yanti-penjual Sayur dan buah yang ditangkap setelah tragedi ’65 dengan tuduhan terlibat menyiksa para jenderal-lewat buku ini mereka ingin mengatakan bahwa mereka bukan pembunuh para jenderal, apalagi menyayat-nyayat penis para jenderal. Suara ibu-ibu yang terekam dalam buku ini menjadi pelatuk di mana “politik pembisuan” sudah harus diakhiri dan martabat mereka sebagai manusia segera dikembalikan. “Saya tidak ingat lagi, betapa sering saya harus melayani serdadu-serdadu itu. Apalagi wajah-wajah mereka, sulit saya mengingatnya saking terlalu sering dan terlalu banyaknya serdadu-serdadu pemerkosa itu.” Ibu sudarsi, aktivis mahasiswa 1965 (penerjemah) “…mereka segera menggali lubang selebar sumur. Kemudian saya mereka tanam berdiri setinggi leher di dalam lubang. Sebelum meninggalkan saya sendirian di hutan. Mereka mengencingi saya. Ibu suparti, aktivis BTI pelayan gereja.