BUKU YANG DIPENJARAKAN : Memoar Orang Terbuang

By | November 15, 2020

Sobron Aidit mendengar informasi adanya perlakuan ekstrem atas buku-buku yang diberedel oleh pemerintah Orde Baru dari salah seorang temannya. Pemikiran-pemikiran serta pendapat-pendapat yang bersebrangan dengan penguasa militerisik waktu itu dibungkam. Mungkin, begitulah kiranya bahasa simbolik yang ingin diungkapkan lewat fenomena buku yang dipenjarakan ini. Selama berkiprah di Indonesia sastrawan kritis itu tak pernah terjun di pentas politik bahkan bergabung dengan PKI. Ia selalu diteror lantaran adik dari DN Aidit dan nama “Aidit” yang disandangnya itu. Pasca-tragedi ’65, Sobron yang ketika itu sedang bertugas di Cina, mendadak kontrak kerjanya diputus secara sepihak. Ia tak tahu lagi ke mana dia bersama dua anaknya akan menyambung hidup. Pulang ke Indonesia, tentu saja bertaruh nyawa. Lewat salah seorang temannya, Sobron diarahkan untuk ke Prancis. Akhirnya, Sobron dan kedua anaknya diizinkan tinggal di Prancis, meski prosesnya tidak mudah. Baginya, ia merasa seperti orang yang terbuang di tanah orang.

Sobron sangat rindu tanah airnya, khususnya tanah kelahirannya, Belitung. Hingga akhir hayatnya, ia tidak berhasil mewujudkan kerinduannya itu karena stempel “orang terlarang” versi Orba. Ia di PKI-kan. Buku ini merupakan kumpulan tulisannya selama di luar negeri. Ia mengisahkan bagaimana ia bertahan hidup dari baying-bayang intel pemerintah Soeharto. Bahkan, beberapa temannya yang berinteraksi dengan dirinya pun kena imbasnya, yaitu dihukum tanpa proses peradilan. Sobron berupaya memberikan penyadaran kepada kita bahwa dendam politik tidak layak diwariskan. Rekonsiliasi dan penghapusan diskriminasi di antara anak bangsa adalah mimpinya.