ISLAM UNIVERSAL

By | July 17, 2019

Dalam perjalanan sejarah Islam Indonesia, perdebatan tentang Islam selalu memberi warna dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perdebatan-perdebatan tersebut biasanya bermula dari perbedaan interpretasi terhadap ajaran Islam yang seakan tidak pernah menemukan titik temu. Pada satu sisi, terdapat pemahaman yang memandang Islam sebagai agama yang ajarannya wajib diterapkan secara literal di Indonesia. Sedangkan pada sisi yang lain, juga terdapat pemahaman yang menyatakan bahwa ajaran ke-Islam-an harus berintegrasi dengan ke-Indonesia-an. Pemahaman tersebut seakan selalu berada pada tempat yang saling berseberangan. Pada akhirnya, perbedaan semacam itu, menuntut kita untuk lebih arif dalam memposisikan diri terhadap suatu pemahaman ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an.

Terdapat dua kelompok besar yang lahir dari rahim perdebatan tentang Islam di atas. Dua kelompok ini pada dasarnya adalah hasil dari respon umat Islam terhadap kebijakan pemerintah dalam persoalan politik Islam. Kelompok pertama, lebih dikenal sebagai kelompok skriptural-ideologis, yakni kelompok yang menghendaki keutuhan (kaffah) dalam memahami Islam. Kelompok ini terwakili oleh kelompok fundamentalis Islam (Islam garis keras).

Kedua, kelompok kulturalis, yaitu, kelompok yang menghendaki terjadinya integrasi antara ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an. Kelompok ini lebih kita kenal lewat gerakannya yang moderat dan toleran (kooperatif). Di antara tokoh-tokoh kelomok ini adalah Nurcholis Madjid (Cak Nur) dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Dua cendekiawan muslim Indonesia yang latar belakang pendidikannya cukup berbeda, namun mampu mengintegrasikan Islam dengan kondisi masyarakat Indonesia.