MENGUBAH KEBIJAKAN PUBLIK: Panduan Pelatihan Advokasi

By | November 13, 2020

Kata advokasi pada era rezim otoriter Orde Baru pernah menjadi kata yang menakutkan, kata yang paling diwaspadai oleh para penguasa militer kala itu. Advokasi selalu diartikan sebagai usaha-usaha makar kaum dan kalangan anti kemapanan untuk merongrong pemerintahan yang sah. Oleh karena itu, rezim militeristik Orde Baru menjadi sangat tidak toleran terhadap usaha advokasi.

Banyak organisasi yang melihat masalah ketiakadilan sosial tetapi menanggapinya secara naif, yakni dengan menyalahkan korban ketidakadilan sosial itu sendiri (blaming the victims). Mereka beranggapan bahwa sistem dan struktur sosial yang ada selalu baik, tetapi masyarakat sendirilah yang tidak mampu menyesuikan diri ke dalam sistem dan struktur tersebut. Mereka menganggap para korban itu memang malas, lemah dan bodoh, tidak mampu berkompetisi. Atas dasar anggapan itulah mereka merasa dirinya perlu memberdayakan para korban yang lemah, miskin dan rentan dengan mendampingi dan mendidik atau bahkan membina mereka. Kalangan ini tidak pernah mempersoalkan ketidakadilan sistemik dan struktural yang sering kali tersembunyi di balik kebijakan, undang-undang atau peraturan yang berlaku.

Oganisasi rakyat, seperti kelompok tani atau nelayan yang berada di akar rumput, yakni mereka yang menjadi selama ini memang menjadi korban utama dari suatu kebijakan publik tertentu, justru harus menjadi bagian terpenting dari suatu aliansi advokasi. Dengan kata lain, advokasi mestinya memungkinkan dipergunakan oleh rakyat di tingkat akar rumput untuk memperjuangkan nasib mereka. Dengan demikian, advokasi boleh menjadi alat siapa saja yang ingin memperjuangkan perubahan kebijakan untuk tegaknya keadilan sosial.